Negeri Kelelawar

Seekor kelelawar berpakaian necis, parlente, dan berdasi, berdiri di atas mimbar kehormatan. Bola matanya memancarkan pesona dan kekaguman. Ribuan kelelawar yang berdesak-desakan di alun-alun rela dipanggang terik matahari demi menyimak kata demi kata yang terlontar dari kelelawar parlente itu.

“Wahai Sudara-saudaraku! Negeri kta ini membutuhkan sebuah perubahan. Rezim masa lalu telah jatuh tersungkur untuk menerima karmanya,” kata sang kelelawar berdasi dengan penuh semangat. Sesekali tangannya mengepal untuk memberikan tekanan kata-kata kunci yang dihamburkan ke tengah massa. “Sekali lagi, negeri kita perlu perubahan! Ya, perubahan! Tentu saja perubahan ke arah yang lebih baik. Kita perlancar roda ekonomi, kita tekan angka kemiskinan dan pengangguran. Hutang-hutang luar negeri harus kita nego-ulang sehingga warisan rezim masa lalu itu tak akan berdampak serius terhadap kesejahteraan rakyat. Kita juga akan menggantung para koruptor yang nyata-nyata telah membuat negeri kita bangkrut. Kita harus melakukan perubahan di berbagai sektor; pendidikan, politik, ekonomi, hukum, pertahanan dan keamanan, serta sosial-budaya.” Massa menyambutnya dengan aplaus berulang-ulang dan bersambung-sambungan hingga menggetarkan pintu langit.

Massa kelelawar yang sedang mengalami masa transisi, dari rezim otoriter ke sebuah rezim “pembebasan”, serasa mendapatkan pencerahan. Baru kali ini, mereka menyimak orasi seorang politikus kelelawar yang cerdas, berani, dan visioner. Setiap kali tampil, kelelawar berdasi itu seperti mampu menyihir dan menghipnotis massa. Ketika berkampanye, kilatan cahaya lampu blitz para jurnalis dan fotograper tak henti-hentinya membidik jidatnya yang licin dan mengkilat. Setiap kata dan tindakannya menjadi rujukan banyak kelelawar. Ya, Ki Gedhe Sirahe, demikian nama politikus kelelawar itu, memang sedang memancarkan pamor politik yang mengagumkan. Slogan-slogan yang dia bentangkan lewat partainya pun sangat dekat dan akrab dengan rakyat. Sang politikus kelelawar juga selalu membuka pintu rumahnya yang megah 24 jam non-stop setiap harinya. Dia dan puluhan ajudannya siap melayani setiap tamu yang berdatangan dengan ramah dan selalu menaburkan pesona. Bahkan, juga menyediakan ruang penginapan gratis lengkap dengan segala layanan akomodasinya bagi mereka yang datang dari jauh.
***

Ya, ya, ya! Negeri kelelawar pada awalnya sebuah negeri yang makmur. Falsafah dan pandangan hidup bangsanya yang sarat dengan sentuhan nilai kemanusiaan dan religius telah membuat nama negeri itu dikagumi banyak negara di berbagai belahan dunia. Santun, ramah, dan selalu mengedepankan musyawarah-mufakat dalam mengambil keputusan. Tak heran jika negeri kelelawar itu dijuluki sebagai negeri yang “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem, kertaraharja”; sebagaimana tergambar dalam lirik berikut ini.

Kami anak-anak Ibu Pertiwi,
adalah pewaris yang sah negeri ini.
Negeri yang di dalam hikayat lama
disebut-sebut sebagai zamrud khatulistiwa.
Negeri yang di dalam dongeng anak-anak
dikisahkan gemah ripah loh jinawi.
Subur, makmur dan sentosa.

Karena di atas tanah negeri ini,
hutan nan luas terhampar,
berbagai jenis palawija berebut tumbuh
saling menyentuh.
Di bawahnya, Tuhan menyimpan minyak,
gas, timah, tembaga, bahkan emas dan
uranium, serta platina.

Suatu saat nanti,
bila kami sudah dewasa,
sudah memiliki pengetahuan,
akal budi dan tata krama,
bisa mengambilnya
sedikit demi sedikit.

Ya, sedikit demi sedikit,
supaya anak-anak kami,
cucu-cucu kami,
buyut-buyut kami,
bisa juga menikmati karunia Illahi ini.
Memanfaatkannya
demi kesejahteraan semua.
………
(Dikutip dari …Negeri yang Didongengkan Gemah Ripah Loh Jinawi…)

Namun, agaknya negeri kelelawar jadi salah urus akibat kebijakan penguasa yang tak berpihak kepada rakyatnya. Para penguasa sibuk membangun kongsi dan kemegahan keluarga serta kroni-kroninya. Pembangunan digenjot, tetapi orientasinya semata-mata demi menegakkan pundi-pundi ekonomi trah dan keturunannya. Jubah kekuasaan telah membuat suasana negeri kelelawar jadi gersang dan tandus. Habitat dan lingkungan alam mulai tidak ramah. Banyak rakyat kelelawar yang mati kelaparan dengan cara yang tragis dan mengenaskan akibat tak sanggup menanggung beban hidup yang begitu berat.

Suasana negeri kelelawar makin tak menentu ketika sang penguasa menghilangkan sikap kemandirian dalam membangun singgasana perekonomian bangsa. Laju dan roda perekonomian justru gampang disetir dan dikendalikan oleh “Thuyul Raksasa” ekonomi dunia yang ada di benua lain. Bangsa kelelawar jadi kehilangan otoritas untuk mengatur lalu-lintas perekonomian di negerinya sendiri. Yang lebih parah, kontrol terhadap kelelawar-kelelawar berhati busuk juga gagal dilakukan. Sang penguasa tak sanggup mengendalikan perilaku korup yang membudaya di kalangan birokrat. Budaya upeti, sikut ke kanan, sikut ke kiri, sembah ke atas injak ke bawah, sudah menjadi pola dan gaya hidup para birokrat di segenap lapis dan lini birokrasi.

Proses rekruitmen para abdi negara pun belepotan lumpur dosa dan maksiat. Bukan kecerdasan dan kemampuan yang dibutuhkan, melainkan semata-mata ditentukan berdasarkan besarnya upeti yang diserahkan kepada sang penentu kebijakan. Dari situlah kebrengsekan dan kebangkrutan layanan publik itu dimulai. Para abdi negara yang direkrut dengan cara-cara curang dan tidak fair, disadari atau tidak, telah menciptakan birokrat-birokrat baru berhati saudagar. Mereka berupaya keras untuk mengembalikan modal upeti dalam waktu yang singkat dan cepat, kemudian mencari celah untuk memperkaya diri [zimbio.com]

Tag: ,

Tinggalkan komentar